Senin, 10 Maret 2014

Surealisme

Berikut adalah sekilas tentang aliran Seni Surealisme. Disusun dan dipresentasikan oleh rekan-rekan saya dikelas dengan sedikit polesan oleh saya. hehe
Kredit untuk: Ahmad Muzaki, Chumaidi, Muhammad Abrar, Muhammad Haydar, Windy Grace Pesik dan Yolaya Nurlaila :)



I.       Pengertian Surealisme
Surealisme adalah suatu aliran seni yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika. Surealisme juga dapat didefinisikan sebagai gerakan budaya yang mempunyai unsur kejutan sebagai ungkapan gerakan filosofis. Surealisme merupakan suatu karya seni yang menggambarkan suatu ketidak laziman, oleh karena itu surealisme dikatakan sebagai seni yang melampaui pikiran atau logika. Karya seni surealisme ini hanya dapat ditafsirkan oleh seorang seniman yang menciptakannya dan sangat sulit bagi seseorang untuk menafsirkan karya seni surealisme tersebut, karena pada hakikatnya surealisme bersifat tidak beraturan atau alurnya melompat-lompat.
Adapun definisi lain yang menyatakan bahwa surealisme adalah sebuah sebuah lukisan realisme atau naturalisme yang berupa daya khayal dan sesuatu yang tidak mungkin atau merupakan sebuah mimpi. Asal kata surealisme pertama kali muncul pada catatan tentang balet parade, pada tahun 1917 yang ditulis oleh Guillaume Apolliuaire dalam karyanya “Super Realisme” atau surealisme.

II.    Sejarah Surealisme
Surealisme lahir di Paris, Perancis, pada tahun 1924. Dengan diterbitkannya “The First Manifesto of Surealisme” yang ditulis oleh Andre Breton, penulis sekaligus psikiatri asal Perancis, surealisme resmi menjadi sebuah gerakan kebudayaan baru. Bahkan secara eksplisit Andre Breton mengatakan bahwa surealisme adalah sebuah gerakan revolusioner. Setelah itu, secara bertahap gerakan surealisme pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bisa dikatakan surealisme, dalam banyak karakteristik merupakan kelanjutan dan pengembangan dari gerakan seni yang bernama “Dada,” yang lahir ketika Perang Dunia I sedang berkecamuk.
Perang Dunia I telah menyebabkan seniman dan penulis yang semula berkumpul di Paris berpencar. Selama berada di luar Paris, para seniman dan penulis itu kemudian tergabung di dalam gerakan dada. Gerakan dada murni bersifat politis. Dada lahir atas dasar kekecewaan terhadap kehancuran besar-besaran yang disebabkan oleh perang. Kaum dadais percaya bahwa pikiran rasional yang berlebihan dapat mengakibatkan konflik mengerikan di dunia. Kaum dada mengejek rasionalitas dan mengusung irasionalitas. Menurut mereka, rasionalitas adalah belenggu kebudayaan yang sudah semestinya dibongkar. Sebagai akibatnya, kaum dada sering terlihat eksentrik dan anti-rasional dalam berkarya. Mereka meracau dengan menggunakan kata-kata ganjil keras-keras, menyobek kata-kata yang terdapat di dalam koran-koran lantas menyusunnya kembali untuk kemudian disebut sebagai puisi, member kumis pada lukisan “Monalisa” dan menyatakan kepada publik bahwa celana dalam dan tiang listrik adalah sebuah karya seni.
Gerakan surealisme ini adalah pengembangan dari gerakan dada tersebut, namun surealisme ini lebih fokus untuk menyorot kepada alam bawah sadar dan mimpi-mimpi yang berasal dari hasrat-hasrat yang terkekang. Dapat dikatakan juga bahwa surealisme adalah tindakan yang bersifat asketis. Para surealis bertujuan untuk memperbaharui pengalaman manusia yang meliputi aspek individu, budaya, sosial, dan politik, dengan membebaskan manusia dari apa yang mereka lihat sebagai rasionalitas palsu, kebiasaan (custom) dan pola (structure) terbatas.

III. Teknik-teknik Menggambar Surealisme
Terdapat pula teknik-teknik yang digunakan di dalam menggambar seni surealisme, yaitu sebagai berikut :
1.      Exquisite Corpse
Exquisite corpse merupakan sebuah strategi yang digunakan para surelis untuk mengangkat gambaran-gambaran dari alam bawah sadar. Misalnya seperti di dalam bentuk seni kolaborasi, yaitu dengan menggunakan sehelai kertas yang dilipatkan menjadi empat bagian lipatan, dan terdapat empat seniman yang berbeda yang akan memberikan kontribusi representasi gambarannya namun tanpa melihat kontribusi yang diberikan oleh seniman-seniman yang lainnya. Didalam prakteknya, seniman yang pertama akan menggambarkan bagian kepala, kertas yang sudah digambarkan tersebut lalu dilipat kembali dan diserahkan kepada seniman yang kedua, seniman kedua ini tanpa melihat hasil gambaran sebelumnya lalu menggambarkan bagian atas tubuh, kemudian seniman yang ketiga dan keempat melakukan hal yang serupa dengan seniman kedua, namun seniman ketiga ini menggambarkan bagian kedua kaki, dan seniman keempat menggambarkan bagian bawah tubuh. Setelah semuanya selesai, lalu para seniman tersebut menginterpretasikan kombinasi gambar tersebut.
2.      Max Ernst
Max Ernst, suarealis Jerman, menemukan teknik lain dengan menggunakan kemungkinan dan ketidaksengajaan yaitu “Frottage. Teknik frottage ini seperti menempatkan kepingan-kepingan kayu atau logam yang kasar di bawah kanvas dan selanjutnya melukis atau menggambarnya dengan menggunakan pensil di atasnya. Di sini sang seniman akan mentransfer motif kasar yang diperoleh dari permukaan tersebut ke dalam sebuah karya. Dalam “Laocoon, Father and Sons” (1926, Menil Collection, Huston, Texas), Ernst meracik motif kasar dengan cara menggosok sambil merujuk juga pada tokoh mitos Yunani, Laocoon, seorang imam Troya yang bergulat dengan piton-piton raksasa.

3.      Automatisme
Automatisme adalah teknik paling penting yang digunakan surealis untuk mengangkat alam bawah sadarnya. Di dalam sebuah lukisan, automatisme dibuat dengan membiarkan tangan menjelajahi permukaan kanvas tanpa adanya campur tangan dari pikiran sadar. Tanda-tanda yang dihasilkan, mereka pikir, tidak akan menjadi acak atau tak berarti, tetapi akan dibimbing pada setiap titiknya dengan memfungsikan pikiran bawah sadar sang seniman, dan bukan oleh pikiran rasional atau pelatihan keartistikan.
Dalam “The Kill” (1944, Museum of Modern Art, New York City), pelukis Perancis Andre Masson menerapkan teknik ini, tapi kemudian ia menggunakan tanda-tanda yang telah diimprovisasi sebagai dasar untuk penguraiannya. Betapapun mengada-adanya penyerupaannya dengan objek nyata (seperti wajah atau bagian tubuh), ia akan memperbaikinya untuk membuat hubungannya tampak lebih jelas. Karena Masson tidak menentukan sebelumnya hal yang akan menjadi subjek dari lukisannya, maka para surealis mengklaim bahwa uraian-uraian selanjutnya dimotivasi secara murni oleh keadaan emosionalnya selama pembuatannya.
Seniman lainnya yang menggunakan teknik automatisme adalah pelukis Spanyol bernama Joan Miro. Dalam “Birth of the World” (1925, Museum of Modern Art, New York City), ia menuangkan zat warna secara acak ke atas kanvas dan membiarkan lukisannya melaju melintasi permukaannya mengikuti grativasi, menciptakan serentetan hasil yang tak bisa ia prediksikan ke depannya. Sejalan dengan Masson, langkah dalam karya lukisan seniman lainnya malah dibuat lebih secara sengaja dan diperhitungkan. Sang seniman mungkin telah merenungkan warna yang akan dituangkan ke atas kanvas untuk beberapa lama, lalu terinspirasi oleh bentuk-bentuk dan makna-makna yang mereka anjurkan, menambahkan beberapa lekukan, bentuk-bentuk abstrak yang memunculkan wujud-wujud hidup. Judul “Birth of the World” menyiratkan bahwa dunia diciptakan dari tiada, tetapi juga merepresentasikan lahirnya kesadaran melalui penciptaan lukisan.
Beberapa surealis, diantaranya Ernst, Yves Tanguy dari Perancis, dan Roberto Matta dari Chili, menggunakan kombinasi teknik-teknik tersebut untuk menyiratkan keadaan alam mimpi atau untuk menghasilkan perbendaharaan abstrak dari bentuk-bentuk. Sesudahnya, mereka mengalami kesulitan untuk menyimpannya ke dalam sebuah kategori. Dalam karya Matta “The Unknowing” (1951, Museum of Modern Art, Vienna, Austria) contohnya, sang seniman telah membuat ruang dan objek-objek tiga dimensi yang kelihatan solid. Objek-objek tersebut, bagaimanapun juga, sangat ambigu sehingga penyimak dapat melihatnya dengan berbagai cara dan menyimpulkan interpretasi mereka masing-masing terhadap lukisan tersebut.

IV. Tokoh-tokoh Aliran Surealisme
Terdapat beberapa tokoh yang melukis dengan aliran surealisme, yaitu sebgai berikut :
1.      Salvador Dali
Salvador Dali yang dilahirkan di Figueras, Catalonia Spanyol pada tahun 1904 adalah salah seorang tokoh surealisme terdepan yang sangat berpengaruh. Pendidikan kesenirupaannya diperoleh di Akademi seni rupa Madrid dari tahun 1921 hingga 1926. Pada masa itu, karya-karyanya menunjukkan berbagai pengaruh dari aliran Kubisme, Post-Impresionisme, Futurisme, dan terutama Pittura Metafisica. Kekaguman terhadap karya-karya De Chirico menjadi dasar yang kokoh bagi perkembangan lukisan-lukisan surealistis terakhirnya.
Perkenalan pertama kalinya dengan gerakan surealisme terjadi semenjak ia mengunjungi Paris pada tahun 1928. Setahun kemudian ia menjadi anggota gerakan ini hingga tahun 1934, pada masa inilah ia banyak melakukan eksperimen lukisan, film, dan benda-benda surealistis. Film pendek “Un Chien Andalou” (1929) dan “L’ Age d’Or” (1939) menjadi dokumen penting yang menunjukkan minat kaum surealis akan penggunaan hubungan kesejajaran yang ganjil (unexpected juxtaposition) antara obyek dengan gagasan. Keikutsertaan Dali dalam kelompok surealisme berakhir pada tahun 1934 setelah dikeluarkannya Breton akibat keterlibatannya dengan politik, yaitu dengan menunjukkan kekaguman yang berlebihan terhadap Hitler dan Fasisme melalui idiom surealisme.
Lukisan Dali yang benar-benar bergaya surealistis muncul pada pameran tahun 1929 di Paris. Beberapa aspek pada lukisan awalnya terkesan dipengaruhi De Chirico, contohnya pada lukisan “The Accomodation of Desire” (1929), dia menggunakan kedalaman – yang menjadi ciri De Chirico – dalam menyusutkan kesan ruang dengan bayangan dan simbolisme yang menggugah. Unsur nyata dan maya ia kacaukan sedemikian rupa dan gagasan merupakan unsur dasar yang bertahan dalam karya-karyanya yang matang. Teknik realisme yang menghadirkan kesan “fotografi buatan tangan” atau “handmade photography” dengan simbolisme yang dikembangkannya menjadi cirri khas gaya surealisme Dali.
Kontribusi terpenting Dali bagi surealisme adalah apa yang ia sebut “paranoiac critical.” Hal ini melibatkan penggunaan metode yang lebih luas dari alam bawah sadar daripada penganut surealis lain. Jika mitranya mengandalkan mimpi dan teknik, maka untuk membangkitkan citra dari alam bawah sadarnya, Dali justru mengaku menjadi orang gila (paranoiac) yang terbiasa mengalami halusinasi dan khayalan bergambar (visual delusions) yang membentuk subject matter pada karyanya. Tujuannya dalam melukis adalah merekam kinerja batin dalam pikirannya secepat mungkin. Dali membaca tulisan Freud dengan antusias dan terlihat banyak perlambangan yang dipakainya dipengaruhi kajian psikoanalisis.
Pada awal tahun 1930 Dali memakai legenda William Tell dan mengubah bentuk ceritanya dari pemujaan kanak-kanak menjadi perkawinan sedarah (incest). Dali lalu terobsesi oleh karya Millet, “Angelus”, dan menggunakannya sebagai lambang penindasan seksual. Selama tahun 1930-an tidak begitu banyak gaya lukisan Dali yang dikembangkan dari kemampuan perlambangannya. Ia tidak menjelaskan maksud dan arti dibalik paduan aneh dalam lukisannya. Diakui bahwa lukisannya dibuat secara spontan tanpa persiapan nalar terlebih dahulu. Sepanjang dekade ini pula kumpulan obyek-obyek anehnya yang unik sering diulang-ulang adalah telur  matasapi, jam meleleh, dan pesawat telepon. Orang yang sakit, tulang yang hancur, dan kemudian manusia dengan laci-laci terbuka menarik perhatiannya pada pertengahan tahun 1930-an. Hal tersebut barangkali diilhami oleh seniman Italia abad ke-17, Bracelli. Salah satu kegemarannya adalah melebih-lebihkan obyek gambar. Seringkali dalam ruang yang lapang seperti gurun dalam lukisannya ditempatkan figur besar yang terisolasi disertai berbagai obyek yang tak lazim semisal piano besar atau lambung kapal. Selanjutnya ketidakserasian antarobyek muncul pada karyanya, contohnya pada lukisan “A Chemist Lifting with Extreme Precaution the Cuticle of a Grand Piano.”  Ketidakwarasan seperti mimpi pada gagasannya memberi kesan nyata melalui teknik fotografis semunya. Berkembangnya kemampuan Dali dalam membangkitkan kesan obyek yang setara beserta citra-citra yang sering tidak berhubungan membawanya pada karya bercitra ganda (double images), yaitu hal yang acapkali rumit, tidak hanya pada adanya dua cara untuk memahaminya, tetapi juga karena keduanya berkaitan dan saling menembus. “Apparition of a Face and Fruit Dish on a Beach” (1938) adalah salah satu contohnya, dan kemungkinan diilhami karya pelukis istana Italia abad ke-16, Arcimboldi.
Pada akhir tahun 1930-an Dali melakukan tiga kali kunjungan panjang ke Italia yang membuatnya tertarik kepada maestro seni zaman Renaisans dan Barok. Perhatiannya ini tidak hanya pada aspek subyek saja, melainkan juga pada gaya serta berbagai pengaruh seniman Tintoretto, Piero di Cosimo, Leonardo da Vinci, dan para pelukis yang sezaman. Pada tahun 1940 Salvador Dali  pindah ke Amerika Serikat dan sempat menulis sebuah otobiografi “Rahasia Kehidupan Salvador Dali” (The Secret Life of Salvador Dali). Kegiatan lain yang pernah dilakukannya adalah bekerja pada beberapa produksi acara balet, menulis beberapa buku dengan baik, merancang kostum dan dekorasi berbagai drama seperti “Bacchanale” (1939). Ia pun membuat desain perhiasan untuk kepentingan seni surealis dan keagamaan seperti karya “The Swan of Leda”. Bagi dekorasi rumah modern ia juga mendesain aneka perangkat rumah tanggah semacam `sofa-mulut` (mouth-couch) yang berbentuk sepasang bibir.
Semenjak Perang Dunia II Dali membuat beberapa karya keagamaan di samping masih menghasilkan lukisan surealistis. Pada masa tersebut dia tetap memakai teknik fotografi buatan tangan yang menimbulkan kejutan karena berbeda secara visual pada karya ikonografi tradisional yang baku, misalnya pada lukisan yang berjudul “Christ of St. John of the Cross” di Glasgow. Dali juga mengerjakan beberapa lukisan potret pesanan.
Berikut ini adalah beberapa karya dari Salvador Dali :

The Persistence of Memory 1931
Lukisan ini ialan gambaran ruang dalaman dan ruang ilusi. Menggambarkan alam semula jadi yang terdapat di dalam latar belakangnya. Menggunakan gabungan warna sejuk dan warna panas yang menunjukkan perbedaan ruang. Imaje jam yang lembut dan hampir cair mewakili massa dan juga pengalaman lampaunya.

 The Hallucinogenic Toreador 1969                             Crucifixion 1954       

2.      Rene Magritte
Rene Magritte dilahirkan pada tahun 1898 di Lessines, Belgia. Magritte mendapatkan pendidikan seni di Academie des Beaux-Arts Brusel. Sebelum tertarik pada karya dan gagasan Surealis pada tahun 1920-an, ia terlebih dahulu mendalami Kubisme dan Futurisme. Bersama dengan E. L. T. Mesens ia secara resmi bergabung dengan seniman surealis pada tahun 1926. Setahun kemudian, ia tinggal selama tiga tahun di Paris dan secara intensif bergaul dengan kaum surealis.
Secara kronologis dan stilistis, lukisan Magritte merupakan fase kedua gerakan surealisme. Dengan menggunakan metode ilusionistik yang disebut quasi-fotografis seperti lukisan Dali, ia menampilkan obyek yang nyata dengan prinsip paduan keganjilan (incongruous combination) sehingga menggoda asosiasi pikiran pemerhati karyanya. Baginya realisme yang presisi juga dapat menjadi surealistis sebagaimana otomatisme murni para surealis. Karya yang khas bersifat argumentatif adalah berupa “lukisan dalam lukisan” seperti dalam The Human Condition I (1933). Karya lainnya, seperti Key of Dreams (1930), berupa alam benda yang diberi teks berbahasa Perancis namun berbeda dengan benda yang dilukis, misalnya sebutir telur yang diberi teks Acacia (akasia) sehingga menghasilkan asosiasi atau konotasi baru.
Berikut ini adalah beberapa contoh karya Rene Magritte :
The Lovers 1928
Imej sepasang kekasih yang mukanya bertutup menunjukkan bahwa cinta itu buta. Magritte menjelaskan di dalam lukisan ini mengenai misteri dan persepahaman antara kekasih yang tidak diketahui.
           
     Collective Invention 1934                                       Golconde 1953

3.      Max Ernst
Max Ernst dilahirkan pada tahun 1891 di Bruhl, Cologne. Ernst berlatar pendidikan filsafat di Universitas Bonn sebelum memutuskan untuk menjadi seorang pelukis. Bersama sahabatnya, Arp dan Baargeld, ia mendirikan kelompok Dada Cologne dengan nama “Dada W/Z,” dan berkolaborasi dengan Arp dalam Fatagaga. Selama di Cologne, Ernst bertemu dengan Eluard dan Breton, yang keduanya menyukai karyanya. Setelah tinggal di Paris semenjak tahun 1922 Ernst bergabung dengan mereka untuk mendirikan gerakan surealisme. Karya-karya dada Ernst menampilkan sikap yang tidak segarang dan antiseni seperti Duchamp. Pada masa ini Ernst menggeser kedudukan seni yang dianggap sakral menjadi satristik yang dipengaruhi Klee. Secara umum karyanya berciri humor dan seringkali liris dengan penempatan imaji yang ditukartempatkan dan irrasional, seperti dalam Here Everything is Still Floating. Di Cologne teknik berkarya sepenuhnya dengan kolase. Lukisan cat minyak pertamanya adalah Elephant of the Celebes (1921) yang menampilkan paduan aneh berbagai unsur, dan hal seperti inilah yang terpenting dalam surealisme. Kehalusan teknik dan pilihan subyeknya menunjukkan pengaruh De Chirico.
Ernst merupakan pelukis mimpi dan alam tidak sadar yang paling intensif di antara seniman surealis. Keterlibatannya dengan surealisme didasari pengalaman melihat penampakan (vision) saat terserang demam cacar waktu kecil. Setelah menjadi pelukis, ia merasakan hal yang sama dengan menatap secara serius perabot kayu, awan atau permukaan yang bertekstur. Ia menganal mekanisme mimpi dan humor kajian Freud, memahami sejarah umum dan seni, kajian psikologi mutakhir, dan halusinasi yang nyata. Pandangannya tentang seni lukis dituangkan dalam buku “Au dela de la Peinture” yang diterbitkan tahun 1936. Prinsip paduan keganjilan (incongruous combination) Ernst yang diterapkan dalam teknik kolase yang disempurnakannya merupakan penghubung antara dada dengan surealisme (Sylvester, 1993:54). Proses semi-otomatis yang berdasarkan prinsip metamorfosisnya agak berbeda dengan teori seniman surealis namun diakui turut mempengaruhi. Dengan teknik berkarya seperti frottage, decalcomania, dan kolase, ia secara sadar menggali kesan ambigu antar obyek dengan sturkturnya sehingga hasilnya sukar ditebak, mengejutkan, dan tergantung interpretasi penikmat. Karya-karya Ernst seringkali menghibur, menstimulasi, lucu, skeptis seperti terlihat misalnya pada karya berjudul Tantot nus (1929) dan Une Semaine de bonte (1934). Semenjak tahun 1931 Ernst juga membuat patung yang berwujud Totemic seperti seni primitif dengan teknik gips, sebagaian dicor dengan perunggu.
Berikut ini adalah beberapa karya dari Max Ernst :
The Elephant Celebes 1921
The Elephant Celebas dianggap lukisan surealis sangat terkenal dengan tanda-tanda pergerakan yang khas. Gambaran dari ‘gajah’ mekanis yang besar seperti tampak terbuat dari ketel uap dengan pipa panjang menyerupai leher yang sangat gelap. Garis cakrawala rendah dan keluasan dari langit menekankan seberapa besar rakasa tersebut. Ada benda tinggi di sebelah kanan yang terlihat seperti cabang atau tiang totem, yang muncul lebih tinggi dari manekin, dan hanya menaiki (manekin) ini, ada asap hitam di langit mendung yang gelap. Di sisi berlawanan, ada dua ikan terbang di langit. Gambar ini tampak bagi saya untuk menghubungkan dengan revolusi industri dan perang dunia pertama yang terjadi pada saat itu. Dalam lukisan The Elephant Celebes, Unsur-unsur seperti wanita telanjang tanpa kepala mengenakan sarung tangan bedah adalah aspek umum yang ditemukan di potongan karya-karya surealis kebanyakan. Surealisme berkaitan dengan mimpi dan keinginan kebanyakan seniman. Manekin wanita tanpa kepala bisa menjadi simbol untuk keinginan seks, oleh karena itu, pikiran perempuan yang hanya berguna untuk satu hal. Ini juga bisa mengacu kepada merendahkan pe­rempuan dalam konsep Freudian. Namun manekin dalam lukisan Ernst juga bisa menyinggung mitos penculikan Europa oleh Zeus me­nyamar sebagai seekor sapi jantan.
4.      Juan Miro
Juan Miro lahir di Barcelona pada tahun 1893 dari ayah seorang pandai emas yang meninggal pada tahun 1983. Pada tahun 1907 Miro meninggalkan sekolah ekonominya untuk memasuki sekolah seni rupa di Barcelona, dan meneruskannya ke Academie Gali. Karya awalnya yang representasional dipengaruhi oleh Van Gogh, Cezanne, Matisse, dan Picasso. Pameran pertamanya diadakan pada tahun 1918 di Barcelona. Tahun berikutnya ia menetap di Paris dan banyak berhubungan dengan Picasso. Oleh Andre Mason, diperkenalkan kepada beberapa seniman surealis dan turut berpartisipasi di dalam pameran pertama surealisme pada tahun 1925. Miro dianggap oleh Breton pada tahun 1928 sebagai seorang seniman yang paling surealistis diantara para surealis.
Pada tahun 1925, Miro bekerjasama dengan Ernst dalam merancang kostum dan dekor untuk “Romeo et Juliette” Diaghilev. Kemudian terlibat didalam pembuatan lukisan mural raksasa, termasuk untuk Paris World Fairs 1937, Harvard University tahun 1950, dan pada tahun 1955 mural keramik untuk gedung UNESCO di Paris. Kekaguman pada gerakan dada dan simpati atas tumbuhnya gagasan surealisme mewarnai karya-karya Miro saat tinggal di Paris. Dari karya naifnya seperti saat bergaya realis pada periode Barcelona bergerak menuju penggabungan aspek nyata dan fantastis seperti pada The Farm, Montroig, Barcelona -1921-1922. Pada lukisannya detik menjadi penting dan representasinya tidak begitu realistis. Dalam “Tilled Field, 1921-1922, secara spesifik unsur kaum surealis disertakan, yakni sebuah telinga yang besar dalam sebuah pemandangan. Selanjutnya dalam lukisan “Catalan Landscape” ia secara spontan memadukan bentuk organis bebas seperti bentuk amuba dan geometris sembarang di atas kanvas.
Miro selanjutnya bereksperimen dengan konsep “otomatisme psikis” dengan karya yang mendekati abstrak. Dalam Circus Horse, 1927, komposisi bentuk diubah secara halus menjadi kumpulan bentuk figuratif yang miring, meski bentuk-bentuknya menjadi lebih figuratif, Miro tetap melukis secara spontaan sebagaimana bunyi manifesto surealisme yang dikemukakan Breton. Elemen fantasi yang kuat dan penuh main-main hasil invensinya mengesankan dipengaruhi Paul Klee. Pada akhir tahun 1920-an karya kolase berbahan heterogennya tampil sangat imajinatif dengan sengaja seperti kekanak-kanakan. Unsur obyek surealis tiga dimensi readymade pun digabungkan pada karya kolasenya seperti pada Objet Poetique (1936). Dekade 1930-an karya-karya tiga dimensi berbahan kayu yang berwujud seperti pada lukisannya cenderung mirip dengan karya kontemporer Arp, kedua seniman tampaknya saling mempengaruhi.
Pada pertengahan tahun 1930-an lukisan Miro terlihat suram dengan karakter yang agresif (disebut peintures sauvages) karena mencerminkan kecemasannya atas ancaman Fasisme di Spanyol. Nada warna lukisannya menjadi gelap dan kasar, dan bentuk-bentuk main-mainnya menjadi monster aneh yang menakutkan. Di akhir tahun 1930-an keagresifannya menurun. Aktivitas melukis dengan otomatisme, baik secara penuh maupun tidak, masih berjalan namun bentuk abstrak dan garis manusia atau binatang ditambahi detail semacam mata dan rambut. Dalam lukisan Woman in the Night dan yang lainnya dari tahun 1940-an, Miro mengisi kanvasnya dengan aneka bentuk kecil berwarna-warni dan garis penghubung. Secara bertahap bentuk-bentuk tersebut tumbuh membesar atau mengecil. Miro bersama Artigas mulai pertengahan tahun 1940 selanjutnya berkarya dengan media keramik yang mengambil bentuk-bentuk fantastis dari lukisannya. Sebagian besar karyanya tersebut kini dikoleksi oleh Maeght Foundation di Perancis.   

5.      Yves Tanguy
Yves Tanguy lahir pada tahun 1900. Tanguy mengaku menjadi seorang pelukis setelah melihat salah satu lukisan De Chirico di Paris pada pertengahan tahun 1920-an, Tanguy menganggap bahwa unsur kejutan adalah kesenangannya di dalam melukis. Ia mengangkat obyek yang tidak biasa dan tidak memiliki kesamaan dengan apapun ke atas kanvas lukisannya. Subject-matter lukisannya tidak nyata, pengolahan kesan perspektif yang ganjil, serta efek cahaya dan bayangan yang dipengaruhi oleh De Chirico. Tanguy bereksperimen dengan prinsip otomatisme, membuat “exquisite corpses” bersama rekannya, dan dalam proses berkaryanya sesekali ia membalikkan kanvasnya untuk memperoleh pandangan baru dari dunia ketidaksadarannya. Cahaya putih susu dan bentuk-bentuk biomorfisnya mengingatkan dengan bentuk menhir dan dolmen di daerah asalnya, Brittany. Baginya judul karya yang aneh, seperti “Mama, Papa is Wounded!” (1927) menggambarkan temuannya akan dunia tersendiri yang amat berbeda dengan dunia nyata dan akal sehat.
Di luar gerakan surealisme tercatat beberapa seniman yang karyanya menunjukkan kecenderungan sejenis, misalnya Paul Klee, Marc Chagall, dan Pablo Picasso. Klee, pelukis kelahiran Swiss, termasuk pelukis yang mengangkat alam mimpi, gambar anak, dan kerajaan improvisasai psikis dalam simbolisme karyanya. Karyanya secara berkala sering direproduksi dalam La Revolution Surrealiste, dan bahkan ikut serta dalam pameran surealis pertama di tahun 1925. Kematangan intelektualnya mendorong karirnya menjadi dosen di Bauhaus Weimar, sebuah sekolah yang jauh dari “kuil ketidaksadaran” (Temple of the Unconcious/Surealisme) dan justri peran logika begitu dominan. Chagall, seorang Yahudi Rusia, karyanya yang sering menggambarkan kerinduan akan berbagai kenangan semasa kecil di desanya, dianggap penuh khayalan, puitis serta memiliki semangat yang sama, namun ia memilih menjauh dari gerakan surealisme. Para surealis pun antusias untuk mengajak dan bahkan merayu Picasso – karena melihat semangat yang sama pada karyanya di tahun 1930-an – untuk menjadi anggota, namun perupa serba bisa ini tidak bergeming.
Berikut ini adalah beberapa karya dari Yves Tanguy :

Through Birds, Through Fire, but Not Through Glass 1943

Mama, Papa is Wounded! 1927

V.    Lain-lain
                 Aliran surealisme sering digunakan di dalam desain banner iklan, desain poster, desain kaos, desain sepatu kanvas, dan lain-lain. Para desainer menyukai aliran ini karena cenderung bebas, sesuai apa yang diimajinasikan oleh desainer. Berikut ini adalah beberapa contoh surealisme yang masih diterapkan di dalam desain grafis :
                 Tokoh utama surealisme di Indonesia adalah Soedibio dan setelah meninggal mendapatkan julukan sebagai Bapak surealisme Indonesia. Soedibio memulai melukis surealis sejak tahun 1940, namun karyanya tidak terkenal karena ia sempat menghilang selama belasan tahun. Kemudian Soedibio muncul kembali dengan gaya lukisan yang berbeda dan Soedibio meninggal pada tahun 1981.
                 Berikut ini adalah table perbedaan antara surealisme dengan Realisme :
Lintasan Perjalanan Seni Rupa Indonesia :
Di tengan konlfik politik dan ideology, para pelukis di Indonesia tumbuh dengan cepat, mereka adalah :
1.      Karyono (lukisannya realism dan ekspresionisme)
2.      Tedja Suminar (lukisannya realism dan ekspresionisme)
3.      Muhamad Daryono (lukisannya ekspresionisme, banyak mengusung tema kerakyatan)
4.      Krishna Mustajab (lukisannya ekspresionisme, dekoratif-ekspresif)
5.      OH Soepono (ekspresionisme dan surealisme)
6.      Rudi Isbandi (lukisannya beragam: mulai dari ekspresionisme, kolase, media campuran, dan abstrak)
7.      Amang Rahman (surealisme dan terkenal gaya Amang Rahmanisme)
8.      M. Roeslan (realism dan kaligrafi Jawa, banyak mengusung masalah kerakyatan dan realism sosial ala Hendra Gunawan)
9.      Rustamadji (realisme dan naturalism)
10.  Koempoel (realisme dan impresionisme)
11.  Soechieb (realisme dan banyak mengusung tema perjuangan)
12.  Wiwiek Hidayat (impresionisme dan abstrak, banyak menorehkan garis-garis dan warna-warna mencolok)
13.  Sudibio (tahun 1946 mendirikan kelompok “”Seniman Muda Indonesia” di kabupaten Madiun. Pada tahun 1967 bersama Wiwiek Hidayat mendirikan “Sanggar Puring,” anggota dari Sanggar Puring adalah Sodibio, Wiwiek Hidayat, Karyono, Tedja Suminar. Pada tahun 1960-an aktif seni rupa di Madium dan Surabaya)
Setelah rezim Soekarno runtuh ditahun 1966, banyak seniman Lekra yang ditahan, dibunuh, dan melarikan diri. Sedangkan seniman lain yang berafiliasi ke partai politik, sepertri LKN dan Lesbumi, diakhir Tahun 1960-an mulai pasif. Akibatnya di Surabaya yang dominan adalah seniman non PKI dan non afiliasi ke partai politik. Para seniman independen yang tergabung dalam gerakan Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) mendominasi perkembangan seni rupa di Surabaya. Kelompok Manikebu itu adalah M Daryono, Rudi Isbandi, Amang Rahman, Krishna Mustadjab, dan sebagainya. Sebagian dari merekalah yang kemudian mendirikan AKSERA Tahun 1974.
Ditahun 1970-an mulai semarak perkembangan seni rupa di Surabaya. Sebab ada beberapa lembaga yang berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa Surabaya saat itu. Pertama, pengaruh Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Kedua, pengaruh lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian Surabaya (DKS), dan Bengkel Muda Surabaya (BMS). Aksera sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan seniman dan kesenian Surabaya. Aksera melahirkan pelukis seperti Nuzurlis Koto, Hardi, Dwijo Sukatmo, Makhfoed, Thalib Prasodjo, Hardjono W.S, Suud, Poerono Sambowo, Hasan Busro, Agus Kemas, Nunung W.S, Hari Matrais, Abraham, Akuat Pribadi, Serudi Sera, Bambang Haryadjie (Bambang Telo), Arifin Hidayat, Yahya Ramsech, Sugeng, dan pematung Soesiyar. Mereka mengembangkan kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai dengan masukan dari guru-guru mereka seperti Muhamad Daryono, OH Supono, Amang Rahman, dan sebagainya. Generasi pelukis Tahun 1970-an sebenarnya sangat beragam, meskipun pengaruh AKSERA sangat besar sekali. Mereka berkembang secara otodidak, dari Yogyakarta, dan sebagainya. Secara global generasi pelukis Tahun 1970-an adalah sebagai berikut (selengkapnya lihat: Direktori Seni Rupa di atas). Abraham (realisme dan surialisme), Agus Kemas (hijrah ke Sumenep), Akuat Pribadi (ekspresionisme), Arifin Hidayat (realisme, dekoratif, dan eskpresionisme. Ahli taman), Bambang Haryadjie (ekspresionisme dan dekoratif), Dwijo Sukatmo (abstrak dan kemudian impresionisme, banyak tema-tema filsafat kehidupan), Hardi (realis-ekspresionisme, hijrah ke Jakarta), Hardjono W.S (pematung dan pelukis realisme dan ekspresionisme. Dia juga penyair dan sutradara teater anak-anak), Hari Matrais (lebih banyak ke teater), Hasan Busro (hijrah ke Jakarta), Liem Keng (sketsa yang bernuansa ekspresionis, dengan warna hitam putih dan media tinta yang kuat sekali), M. Thalib Prasodjo (realisme dan banyak menggambar sketsa hitam putih), Makhfoed (surealisme dengan tema dominan alam kehidupan ala “Miro”), Nunung W.S (realisme dan ekspresionisme, hijrah ke Jakarta, Yogyakarta), Nuzurlis Koto (abstrak), Poerono Sambowo (realisme dan abstrak), Saiman Dullah (naturalisme), Serudi Sera (pointilis dan surialisme), Soesiyar (banyak karya patung, patung bertema kehidupan, tetapi disajikan secara surialisme), Subur Dullah (naturalisme), Sugeng (gaya optik), Suud Endisuseli (banyak melukis dengan media tinta dengan warna hitam putih. Lukisannya banyak dominan garis fraktal dan pointilis), Wahjudi D. Soetomo (realisme dan terakhir abstrak, ahli taman), Yahya Ramsech (realisme dan kaligrafi). Di samping itu Aksera menyelenggarakan Sekolah Minggu Aksera (SMA). SMA ini melahirkan seniman seperti Wadjie MS dan Sukarno. Bengkel Muda Surabaya pun menyelenggarakan sekolah minggu seni lukis sehingga banyak seniman muda yang lahir dari aktivitas BMS ini. Tokoh yang lahir dari BMS adalah Bawong SN, Amir Kiah, dan Winarto.
Ditahun 1980-an dunia seni rupa Surabaya mulai diramaikan oleh pengaruh pendidikan seni rupa Fakultas Keguruan Bahasa dan Seni (FKBS) IKIP Surabaya (UNESA). Akibatnya sejak tahun 1980-an itulah berkembang pelukis dan lukisan yang sangat beragam. Banyak seniman yang mendapat pengaruh UNESA, lulusan ASRI Yogyakarta, otodidak, STKW, dan sebagainya. Tidak heran kalau generasi seni rupa Surabaya sejak Tahun 1980-an semakin beragam. Kita simak keberagaman itu adalah sebagai berikut:
1.      A. Gusge (realis-surealis)
2.      Abdul Kadir (impresionis)
3.      Albert Rondonuwu (realis)
4.      Amdo Brada (Bambang Widodo). Amdo adalah jebolan STSI ASRI Yogyakarta. Amdo terkenal dengan lukisan dekoratif etnik. Dia banyak melukis totem dan dekorasi daerah.
5.      Amir Kiah (realis-ekspresionis)
6.      Anang Timur (realis, surealis, dan dekoratif. Banyak mengusung tema candi)
7.      Andi L. Hamsan (realis-dekoratif dan surealis)
8.      Andi Sulasmono (realis)
9.      Arifin Petruk (instalasi)
10.  Asri Nugroho (realisme, surealisme, dan abstrak)
11.  Bagas Karunia Putra (realis, ekspresionis, multi media, dan terakhir dadais)
12.  Bambang Widiantoko (abstrak)
13.  Basuki (realis)
14.  Bilaningsih (ekspresionis dan dadais)
15.  Chamdani (ekspresionis, banyak mengusung tema sosial)
16.  Chusnul Bahri (pelukis kaligrafi dan dekoratif. Lukisannya style Madura).
17.  Chusnul Hadi (realis, kaligrafi)
18.  Doho Senjoyo (naturalis)
19.  Doyo Prawito (realis, natural, dan terakhir surialis)
20.  Dwi Hadiah (realis-dekoratif)
21.  Farid Firdaus (impresionis, ekspresionis)
22.  Hening Purnamawati (dekoratif dan surialisme). Hening merupakan pelukis perempuan Surabaya potensial.
23.  Her Rusmadi (realis, ekspresionis, dan banyak mengusung tema kerakyatan model Hendra Gunawan)
24.  Heri Suyanto (realis, dekoratif, dan pointilis)
25.  Hisyam (dekoratif)
26.  Hookim Hong (realis dengan gaya lukisan China)
27.  I Nyoman Ladra (dekoratif)
28.  Ika Ismurdiahwati (dekoratif dengan banyak tema lukisan topeng dan totem)
29.  Imam Chambali (realis)
30.  Iskandar Zubair (realis dan banyak melukis karikatur)
31.  Ivan Hariyanto. Pelukis Surabaya bergaya surealis yang produktif. Ivan lulusan STSRI “ASRI” Jogyakarta.
32.  J.S Warno (realis)
33.  Juli Jatiprambudi (realis-ekspresionis, lebih terkenal sebagai kritikus dan penulis seni rupa)
34.  K. Djuwito (realis)
35.  Kris AW (pernah di Surabaya. Sekarang di Gresik.Lukisannya realis)
36.  Liem Keng
37.  Liwung (realis)
38.  Lukman Azis (surealis, bermukim di Porong Sidoarjo, almarhum)
39.  M. Basuki (realis)
40.  M. Thoyib (dekoratif)
41.  Mas Dibyo. Mas Dibyo merupakan salah seorang pelukis bergaya ekspresionis yang sangat produktif. Pada awal Tahun 1990-an dia pindah ke Tuban dan sangat produktif pameran.
42.  Mudjiono (realis)
43.  Muhamad Fauzi (surealis dekoratif)
44.  Musfaat (realis dan naturalis)
45.  Natalini (Lini) (ekspresionisme)
46.  Nonot Sukrasmono (realis, surealis, dan abstrak, dan kaligrafi)
47.  Nunung Bachtiar (realis, ekspresionis)
48.  Okka Jauhari (abstrak)
49.  Pandik (realis)
50.  Pek Liang (realis dengan gaya lukisan China)
51.  Praci Hara (abstrak, lulus Unesa, banyak sibuk mengajar di SMKN XI – SMSR Surabaya)
52.  Purnomo Sadewo (realis ekspresionis)
53.  Rijaman (pointilis)
54.  Rilantono (realis, dekoratif, dan pop art)
55.  Salamun Kaulam, dosen UNESA, termasuk pelukis Surabaya yang rajin pameran bersama. Lukisan Salamun sangat ekspresif dengan komposisi warna cerah. Perkembangan terakhir, bentuk lukisan Salamun mengarah ke abstrak.
56.  Satya Budi (realis-surealis). Sekarang tinggal di Yogyakarta.
57.  Sebastian (realis, banyak belajar dari Doyo Prawito)
58.  Setyoko (ekspresionisme, fauvisme)
59.  Sim Kiem (realis)
60.  Siti Rijati (realis)
61.  Sri Rahayu (realis)
62.  Subanu (realis-dekoratif)
63.  Sugiarso Widodo (lukisannya banyak tema mesin sebagai simbol budaya masyarakat saat ini)
64.  Sukarno (realis, dekoratif)
65.  Surachman KS (realis dekoratif)
66.  Suratno (realis)
67.  Sutjahyo Widodo (realis ekspresionis)
68.  Syafei Prawirosedono (Cak Pii) (realis banyak tema wayang)
69.  Syaiful Hadjar (realis, grafis, dan saat ini menekuni seni rupa instalasi)
70.  Taufiq Sulistiya (realis)
71.  Thoyib Tamsar (dekoratif, banyak bikin patung dari bahan serat rosella)
72.  Tiko Hamzah (realis-surialis)
73.  Utut Hartono Brotoasmoro (realis)
74.  Wadji M.S (realis dekoratif)
75.  Wijianto (realis)
76.  Yuliascana (dekoratif)
Sedangkan generasi seni rupa Surabaya Tahun 1990-an sama beragamnya dengan generasi seni rupa Tahun 1980-an. Akan tetapi generasi seni rupa Surabaya Tahun 1990-an banyak mengusung tema sosial, politik, dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka adalah :
1.      Abdul Hakim (otodidak. kaligrafi)
2.      Agus Kucing (pop art dan instalasi)
3.      Agus Muharam (kaligrafi)
4.      Ari Indriastuti (realis, lulusan Unesa)
5.      Arsdewo (STSI=Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. Realis ekspresionis dengan tema kerakyatan)
6.      Asnan Hayadi (realis, otodidak, banyak melukis kota lama)
7.      Bambang Kuncung (nama aslinya Bambang Bagus Permadi. Mahasiswa STKW. Instalasi dan pop art)
8.      Budi S (otodidak. natural)
9.      Darsono (realis. Otodidak)
10.  Dukan Wahyudi (lulusan SMSR. realis dekoratif, dengan mengusung banyak tema kritik sosial)
11.  E.Y Fibri Andrianto (abstrak, STKW Surabaya)
12.  Hari Subagio (realis ekspresionis, IKIP Semarang)
13.  Indra Harianti (istri Supar Pakis. Realis.otodidak)
14.  Joko Pramono (Jopram) (lulusan SMSR. pop art)
15.  Jumartono (ekspresionis, lulusan SMSR)
16.  Mas Rachmad (realis dan kemudian berkembang ke dekoratif. otodidak)
17.  Mirza Said (dekoratif, Univ Trisakti)
18.  Mukiban (otodidak.realis, impresif)
19.  Nono Karyono (realis, otodidak)
20.  Nono W.S (realis, banyak belajar di Perancis)
21.  Novita Sechan (realis, lulusan Unesa)
22.  Supar Pakis (lulusan Unipa=Universitas PGRI Adibuana. Gayanya realis-surealis)
23.  Taufiq Hidayat
24.  Yunus Jubair (surealis)
Sementara itu ada beberapa pelukis keturunan China yang pernah tinggal dan belajar di Surabaya. Diantara mereka ada yang tetap tinggal di Surabaya dan ada yang meninggalkan Surabaya. Mereka antara lain adalah :
1.      Huang Fong, Banyuwangi.
2.      Sen Pao, Bali. Lahir di Surabaya, 1949. Pendidikan : Melukiskan sejak usia dini. Ia murid pelukis S. Jikan BA, pada tahun 1967-1968 yang kemiudian dilanjutkan dibawah bimbingan pelukis T.Wing di Surabaya. Pengalaman : Tahun 1972 menetap di Bali dan berlangsung sampai sekarang, berulang kali pameran di Jakarta, Surabaya, Bali. Sen Pao menggali kehidupan Bali visual yang khas, bewarna cerah, ilustratif dan mozakis.
3.      Chien Pang L. Surabaya. Lahir di Surabaya tahun 1941. Pendidikan : Sejak 10 tahun belajar Chinese Painting di bawah bimbingan ayahnya sendiri dan kemudian mendapat bimingan dari beberapa pelukis diantaraya Mr. Won Tok Fong (Pelukis chinese Painting). Mr. Chang Le Ou (alm).tahun 1960 belajar disekolah seni CHANA Surabaya. Pengalaman : Tahun 1971 mencari pengalaman ke Asia Tenggara. Dari tahun 1979-1994 banyak mengikuti pameran bersama dan tunggal, di Denpasar, jakarta dan luar negri. Tahun 1994 termasuk finalis dalam pameran All Media Competion yang diadakan oleh ARTIST MAGAZINE di Cincinati, Ohio-USA. Dan pada tahun 1995 mendapat ucapan “SELAMAT” The Committe of The World Overseas Chinese Artist Institute yang mana salah satu dari karyanya pada likisa “Fun In The Meadow”terpilih dalam Global Overseas Chinese Painter’s Art Works Collection yang diselenggarakan oleh Editorial board of Paintin Research Institute, Institut seni cina, Beijing. Tercatat tahun 2002 dan 2003 dalam pameran seni lukis Chinese Painting dan Grafis di Nanjing.
4.      S. Jikan. Lahir di Klakah (Lumajang) 10 November 1941. Pendidikan : Mulai belajar melukis pada seniman dan guru seni Tan Wing. Tahun 1965 diterima di S.R.I. Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun 1967-1970 di IKIP Negri Surabaya jurusan SeniRupa. Gemar melukis cat air, cat minyak, soft pastel diatas cat air dan acrylic. Sebagai angota perkumpulan seni lukis dan kaligrafi Jawa Timur.
5.      L. Mintardja. Lahir di Surabaya 1934. Pendidikan : Darah seninya mengalir dari ayahnya seorang kaligrafi terkenal di Surabaya. Sejak kecil mendorongnya untuk menekuni seni lukis dengan belajar pada guru pelukis Kwee Ing Ling pada tahun 1950. Pengalaman : Tahun 60’an beberapa kali mengikuti pameran lukisan bersama di Jakarta. Tahun 70’an beralih ke grafis design dengan media cetak, banyak menangani design packaging dan iklan. Namun kegiatanya melukis tidak pernah lepas dari kehidupanya. Bahkan kini seni lukis sudah menjadi tangung profesinya. Beberapa tahun ini sering pameran bersama di Jakarta, Surabaya, dan Bali. Lukisannya banyak dikoleksi oleh kolektor dari Jakarta, Surabaya, Bali serta mancanegara.
6.      WT. Dhay. Lahir di Lumajang tahun 1937. Pendidikan : Sekitar tahun 1960-an pelukis Realis Impressionistik ini belajar menggunakan cat minyak pada pelukis Nurdin BS. Pengalaman : Dari sekitar 30 kali pameran bersama di dalam dan di luar negri, diantaranya : All Media Competion (Cincinnati, Ohio-USA), Pameran bersama Lukisan Flora &Fauna (Hitton Executive Club, Jakarta), Asia Excellence (Singapore), “Pelangi Dewata” (Lippo Finansial Jakarta), Gelegar Seni (Radison Jakarta). Karya-karyanya dikoleksi kolektor dalam dan mancanegara.
7.      Liem Sing Kiem. Lahir di Surabaya. Pendidikan : Belajar melukis di yayasan Seni lukis “CHANA” Surabaya. Mendapat bimbingan pelukis Sen Pao di Bali. Pengalaman : Delapan Pameran bersama : Temu Ragam Sembilan Pelukis (Bank Umum Nasional), Pameran Akbar Seni Lukis (Hotel Presiden Jakarta), Komunitas Seni Lukis Surabaya (Hotel Hyatt Reency), Jambore Seni Lukis Surabya (Galery Surabaya), Kepedulian Sesama pelukis (Galery 678 Jakarta), Pelangi Nusantara I (Garden Palace Hotel), Putri Art Galery (Malang), Puisi Nusantara (Garden Palace Hotel) dan di berbagai tempat peresmian/Pembukaan gedung.
8.      Pan Zhen Puei. Medium : Oil, Chinese Ink Pencil, Watercolour. Awards : 1976 Special Award, Ministry of Culture National Day Art Exhiition, Singapore. 1988 Tan Tze Chor Art Award, Singgapore Art Society Annual Art Exhibition, Singapore. Selected Collection : Agung Rai Art Museum, Bali-Indonesia, DBS Bank, Singapore Monetary Authority of Singapore, Singapore, Rudana Art Museum, Bali-Indonesia, United Overseas Bank, Singapore. Member : Society Chinese Artist, Singapore, Singapore Art Society, Singapore.




1 komentar: