Kredit untuk: Ahmad Muzaki, Chumaidi, Muhammad Abrar, Muhammad Haydar, Windy Grace Pesik dan Yolaya Nurlaila :)
I. Pengertian
Surealisme
Surealisme adalah suatu aliran seni
yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika. Surealisme
juga dapat didefinisikan sebagai gerakan budaya yang mempunyai unsur kejutan
sebagai ungkapan gerakan filosofis. Surealisme merupakan suatu karya seni yang
menggambarkan suatu ketidak laziman, oleh karena itu surealisme dikatakan
sebagai seni yang melampaui pikiran atau logika. Karya seni surealisme ini
hanya dapat ditafsirkan oleh seorang seniman yang menciptakannya dan sangat
sulit bagi seseorang untuk menafsirkan karya seni surealisme tersebut, karena
pada hakikatnya surealisme bersifat tidak beraturan atau alurnya
melompat-lompat.
Adapun definisi lain yang
menyatakan bahwa surealisme adalah sebuah sebuah lukisan realisme atau
naturalisme yang berupa daya khayal dan sesuatu yang tidak mungkin atau
merupakan sebuah mimpi. Asal kata surealisme pertama kali muncul pada catatan
tentang balet parade, pada tahun 1917 yang ditulis oleh Guillaume Apolliuaire
dalam karyanya “Super Realisme” atau surealisme.
II. Sejarah
Surealisme
Surealisme lahir di Paris,
Perancis, pada tahun 1924. Dengan diterbitkannya “The First Manifesto of Surealisme” yang ditulis oleh Andre Breton,
penulis sekaligus psikiatri asal Perancis, surealisme resmi menjadi sebuah
gerakan kebudayaan baru. Bahkan secara eksplisit Andre Breton mengatakan bahwa
surealisme adalah sebuah gerakan revolusioner. Setelah itu, secara bertahap
gerakan surealisme pun menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bisa dikatakan
surealisme, dalam banyak karakteristik merupakan kelanjutan dan pengembangan
dari gerakan seni yang bernama “Dada,” yang lahir ketika Perang Dunia I sedang
berkecamuk.
Perang Dunia I telah menyebabkan
seniman dan penulis yang semula berkumpul di Paris berpencar. Selama berada di
luar Paris, para seniman dan penulis itu kemudian tergabung di dalam gerakan dada.
Gerakan dada murni bersifat politis. Dada lahir atas dasar kekecewaan terhadap
kehancuran besar-besaran yang disebabkan oleh perang. Kaum dadais percaya bahwa
pikiran rasional yang berlebihan dapat mengakibatkan konflik mengerikan di
dunia. Kaum dada mengejek rasionalitas dan mengusung irasionalitas. Menurut
mereka, rasionalitas adalah belenggu kebudayaan yang sudah semestinya
dibongkar. Sebagai akibatnya, kaum dada sering terlihat eksentrik dan
anti-rasional dalam berkarya. Mereka meracau dengan menggunakan kata-kata
ganjil keras-keras, menyobek kata-kata yang terdapat di dalam koran-koran
lantas menyusunnya kembali untuk kemudian disebut sebagai puisi, member kumis
pada lukisan “Monalisa” dan
menyatakan kepada publik bahwa celana dalam dan tiang listrik adalah sebuah
karya seni.
Gerakan surealisme ini adalah
pengembangan dari gerakan dada tersebut, namun surealisme ini lebih fokus untuk
menyorot kepada alam bawah sadar dan mimpi-mimpi yang berasal dari
hasrat-hasrat yang terkekang. Dapat dikatakan juga bahwa surealisme adalah
tindakan yang bersifat asketis. Para surealis bertujuan untuk memperbaharui
pengalaman manusia yang meliputi aspek individu, budaya, sosial, dan politik,
dengan membebaskan manusia dari apa yang mereka lihat sebagai rasionalitas
palsu, kebiasaan (custom) dan pola (structure) terbatas.
III. Teknik-teknik
Menggambar Surealisme
Terdapat pula teknik-teknik yang
digunakan di dalam menggambar seni surealisme, yaitu sebagai berikut :
1. Exquisite
Corpse
Exquisite corpse merupakan sebuah
strategi yang digunakan para surelis untuk mengangkat gambaran-gambaran dari
alam bawah sadar. Misalnya seperti di dalam bentuk seni kolaborasi, yaitu
dengan menggunakan sehelai kertas yang dilipatkan menjadi empat bagian lipatan,
dan terdapat empat seniman yang berbeda yang akan memberikan kontribusi
representasi gambarannya namun tanpa melihat kontribusi yang diberikan oleh
seniman-seniman yang lainnya. Didalam prakteknya, seniman yang pertama akan
menggambarkan bagian kepala, kertas yang sudah digambarkan tersebut lalu
dilipat kembali dan diserahkan kepada seniman yang kedua, seniman kedua ini
tanpa melihat hasil gambaran sebelumnya lalu menggambarkan bagian atas tubuh,
kemudian seniman yang ketiga dan keempat melakukan hal yang serupa dengan
seniman kedua, namun seniman ketiga ini menggambarkan bagian kedua kaki, dan
seniman keempat menggambarkan bagian bawah tubuh. Setelah semuanya selesai,
lalu para seniman tersebut menginterpretasikan kombinasi gambar tersebut.
2. Max
Ernst
Max Ernst, suarealis Jerman, menemukan
teknik lain dengan menggunakan kemungkinan dan ketidaksengajaan yaitu “Frottage.” Teknik frottage ini seperti menempatkan kepingan-kepingan kayu
atau logam yang kasar di bawah kanvas dan selanjutnya melukis atau
menggambarnya dengan menggunakan pensil di atasnya. Di sini sang seniman akan
mentransfer motif kasar yang diperoleh dari permukaan tersebut ke dalam sebuah
karya. Dalam “Laocoon, Father and Sons”
(1926, Menil Collection, Huston, Texas), Ernst meracik motif kasar dengan cara
menggosok sambil merujuk juga pada tokoh mitos Yunani, Laocoon, seorang imam
Troya yang bergulat dengan piton-piton raksasa.
3. Automatisme
Automatisme adalah teknik paling penting
yang digunakan surealis untuk mengangkat alam bawah sadarnya. Di dalam sebuah
lukisan, automatisme dibuat dengan membiarkan tangan menjelajahi permukaan
kanvas tanpa adanya campur tangan dari pikiran sadar. Tanda-tanda yang
dihasilkan, mereka pikir, tidak akan menjadi acak atau tak berarti, tetapi akan
dibimbing pada setiap titiknya dengan memfungsikan pikiran bawah sadar sang
seniman, dan bukan oleh pikiran rasional atau pelatihan keartistikan.
Dalam “The Kill” (1944, Museum of Modern Art, New York City), pelukis
Perancis Andre Masson menerapkan teknik ini, tapi kemudian ia menggunakan
tanda-tanda yang telah diimprovisasi sebagai dasar untuk penguraiannya.
Betapapun mengada-adanya penyerupaannya dengan objek nyata (seperti wajah atau
bagian tubuh), ia akan memperbaikinya untuk membuat hubungannya tampak lebih
jelas. Karena Masson tidak menentukan sebelumnya hal yang akan menjadi subjek
dari lukisannya, maka para surealis mengklaim bahwa uraian-uraian selanjutnya
dimotivasi secara murni oleh keadaan emosionalnya selama pembuatannya.
Seniman lainnya yang menggunakan teknik
automatisme adalah pelukis Spanyol bernama Joan Miro. Dalam “Birth of the World” (1925, Museum of
Modern Art, New York City), ia menuangkan zat warna secara acak ke atas kanvas
dan membiarkan lukisannya melaju melintasi permukaannya mengikuti grativasi, menciptakan
serentetan hasil yang tak bisa ia prediksikan ke depannya. Sejalan dengan
Masson, langkah dalam karya lukisan seniman lainnya malah dibuat lebih secara
sengaja dan diperhitungkan. Sang seniman mungkin telah merenungkan warna yang
akan dituangkan ke atas kanvas untuk beberapa lama, lalu terinspirasi oleh
bentuk-bentuk dan makna-makna yang mereka anjurkan, menambahkan beberapa
lekukan, bentuk-bentuk abstrak yang memunculkan wujud-wujud hidup. Judul “Birth of the World” menyiratkan bahwa
dunia diciptakan dari tiada, tetapi juga merepresentasikan lahirnya kesadaran
melalui penciptaan lukisan.
Beberapa surealis, diantaranya Ernst,
Yves Tanguy dari Perancis, dan Roberto Matta dari Chili, menggunakan kombinasi
teknik-teknik tersebut untuk menyiratkan keadaan alam mimpi atau untuk
menghasilkan perbendaharaan abstrak dari bentuk-bentuk. Sesudahnya, mereka
mengalami kesulitan untuk menyimpannya ke dalam sebuah kategori. Dalam karya
Matta “The Unknowing” (1951, Museum
of Modern Art, Vienna, Austria) contohnya, sang seniman telah membuat ruang dan
objek-objek tiga dimensi yang kelihatan solid. Objek-objek tersebut,
bagaimanapun juga, sangat ambigu sehingga penyimak dapat melihatnya dengan
berbagai cara dan menyimpulkan interpretasi mereka masing-masing terhadap
lukisan tersebut.
IV. Tokoh-tokoh
Aliran Surealisme
Terdapat beberapa tokoh yang melukis
dengan aliran surealisme, yaitu sebgai berikut :
1. Salvador
Dali
Salvador Dali yang dilahirkan di
Figueras, Catalonia Spanyol pada tahun 1904 adalah salah seorang tokoh surealisme
terdepan yang sangat berpengaruh. Pendidikan kesenirupaannya diperoleh di
Akademi seni rupa Madrid dari tahun 1921 hingga 1926. Pada masa itu,
karya-karyanya menunjukkan berbagai pengaruh dari aliran Kubisme,
Post-Impresionisme, Futurisme, dan terutama Pittura Metafisica. Kekaguman
terhadap karya-karya De Chirico menjadi dasar yang kokoh bagi perkembangan
lukisan-lukisan surealistis terakhirnya.
Perkenalan pertama kalinya dengan
gerakan surealisme terjadi semenjak ia mengunjungi Paris pada tahun 1928.
Setahun kemudian ia menjadi anggota gerakan ini hingga tahun 1934, pada masa
inilah ia banyak melakukan eksperimen lukisan, film, dan benda-benda
surealistis. Film pendek “Un Chien
Andalou” (1929) dan “L’ Age d’Or”
(1939) menjadi dokumen penting yang menunjukkan minat kaum surealis akan
penggunaan hubungan kesejajaran yang ganjil (unexpected juxtaposition) antara obyek dengan gagasan.
Keikutsertaan Dali dalam kelompok surealisme berakhir pada tahun 1934 setelah
dikeluarkannya Breton akibat keterlibatannya dengan politik, yaitu dengan
menunjukkan kekaguman yang berlebihan terhadap Hitler dan Fasisme melalui idiom
surealisme.
Lukisan Dali yang benar-benar bergaya
surealistis muncul pada pameran tahun 1929 di Paris. Beberapa aspek pada
lukisan awalnya terkesan dipengaruhi De Chirico, contohnya pada lukisan “The Accomodation of Desire” (1929), dia
menggunakan kedalaman – yang menjadi ciri De Chirico – dalam menyusutkan kesan
ruang dengan bayangan dan simbolisme yang menggugah. Unsur nyata dan maya ia
kacaukan sedemikian rupa dan gagasan merupakan unsur dasar yang bertahan dalam
karya-karyanya yang matang. Teknik realisme yang menghadirkan kesan “fotografi
buatan tangan” atau “handmade
photography” dengan simbolisme yang dikembangkannya menjadi cirri khas gaya
surealisme Dali.
Kontribusi terpenting Dali bagi surealisme
adalah apa yang ia sebut “paranoiac
critical.” Hal ini melibatkan penggunaan metode yang lebih luas dari alam
bawah sadar daripada penganut surealis lain. Jika mitranya mengandalkan mimpi
dan teknik, maka untuk membangkitkan citra dari alam bawah sadarnya, Dali
justru mengaku menjadi orang gila (paranoiac)
yang terbiasa mengalami halusinasi dan khayalan bergambar (visual delusions) yang membentuk subject matter pada karyanya.
Tujuannya dalam melukis adalah merekam kinerja batin dalam pikirannya secepat
mungkin. Dali membaca tulisan Freud dengan antusias dan terlihat banyak
perlambangan yang dipakainya dipengaruhi kajian psikoanalisis.
Pada awal tahun 1930 Dali memakai
legenda William Tell dan mengubah bentuk ceritanya dari pemujaan kanak-kanak
menjadi perkawinan sedarah (incest).
Dali lalu terobsesi oleh karya Millet, “Angelus”,
dan menggunakannya sebagai lambang penindasan seksual. Selama tahun 1930-an tidak
begitu banyak gaya lukisan Dali yang dikembangkan dari kemampuan
perlambangannya. Ia tidak menjelaskan maksud dan arti dibalik paduan aneh dalam
lukisannya. Diakui bahwa lukisannya dibuat secara spontan tanpa persiapan nalar
terlebih dahulu. Sepanjang dekade ini pula kumpulan obyek-obyek anehnya yang
unik sering diulang-ulang adalah telur
matasapi, jam meleleh, dan pesawat telepon. Orang yang sakit, tulang
yang hancur, dan kemudian manusia dengan laci-laci terbuka menarik perhatiannya
pada pertengahan tahun 1930-an. Hal
tersebut barangkali diilhami oleh seniman Italia abad ke-17, Bracelli. Salah
satu kegemarannya adalah melebih-lebihkan obyek gambar. Seringkali dalam ruang
yang lapang seperti gurun dalam lukisannya ditempatkan figur besar yang
terisolasi disertai berbagai obyek yang tak lazim semisal piano besar atau
lambung kapal. Selanjutnya ketidakserasian antarobyek muncul pada karyanya, contohnya pada lukisan “A Chemist Lifting with Extreme Precaution
the Cuticle of a Grand Piano.” Ketidakwarasan
seperti mimpi pada gagasannya memberi kesan nyata melalui teknik fotografis
semunya. Berkembangnya kemampuan Dali dalam membangkitkan kesan obyek yang
setara beserta citra-citra yang sering tidak berhubungan membawanya pada karya
bercitra ganda (double images), yaitu
hal yang acapkali rumit, tidak hanya pada adanya dua cara untuk memahaminya,
tetapi juga karena keduanya berkaitan dan saling menembus. “Apparition of a Face and Fruit Dish on a
Beach” (1938) adalah salah satu contohnya, dan kemungkinan diilhami karya
pelukis istana Italia abad ke-16, Arcimboldi.
Pada akhir tahun 1930-an Dali
melakukan tiga kali kunjungan panjang ke Italia yang membuatnya tertarik kepada
maestro seni zaman Renaisans dan Barok. Perhatiannya ini tidak hanya pada aspek
subyek saja, melainkan juga pada gaya serta berbagai pengaruh seniman
Tintoretto, Piero di Cosimo, Leonardo da Vinci, dan para pelukis yang sezaman.
Pada tahun 1940 Salvador Dali pindah ke
Amerika Serikat dan sempat menulis sebuah otobiografi “Rahasia Kehidupan
Salvador Dali” (The Secret Life of
Salvador Dali). Kegiatan lain yang pernah dilakukannya adalah bekerja pada
beberapa produksi acara balet, menulis beberapa buku dengan baik, merancang
kostum dan dekorasi berbagai drama seperti “Bacchanale”
(1939). Ia pun membuat desain perhiasan untuk kepentingan seni surealis dan
keagamaan seperti karya “The Swan of Leda”.
Bagi dekorasi rumah modern ia juga mendesain aneka perangkat rumah tanggah
semacam `sofa-mulut` (mouth-couch)
yang berbentuk sepasang bibir.
Semenjak Perang Dunia II Dali
membuat beberapa karya keagamaan di samping masih menghasilkan lukisan
surealistis. Pada masa tersebut dia tetap memakai teknik “fotografi buatan tangan” yang menimbulkan kejutan karena berbeda secara visual
pada karya ikonografi tradisional yang baku, misalnya pada lukisan yang
berjudul “Christ of St. John of the Cross”
di Glasgow. Dali juga mengerjakan beberapa lukisan potret pesanan.
Berikut ini adalah beberapa karya dari
Salvador Dali :
The Persistence of Memory 1931
Lukisan ini ialan gambaran ruang dalaman dan ruang
ilusi. Menggambarkan alam semula jadi yang terdapat di dalam latar belakangnya.
Menggunakan gabungan warna sejuk dan warna panas yang menunjukkan perbedaan
ruang. Imaje jam yang lembut dan hampir cair mewakili massa dan juga pengalaman
lampaunya.
The Hallucinogenic Toreador 1969 Crucifixion 1954
2. Rene
Magritte
Rene Magritte dilahirkan pada tahun 1898
di Lessines, Belgia. Magritte mendapatkan pendidikan seni di Academie des
Beaux-Arts Brusel. Sebelum tertarik pada karya dan gagasan Surealis pada tahun
1920-an, ia terlebih dahulu mendalami Kubisme dan Futurisme. Bersama dengan E.
L. T. Mesens ia secara resmi bergabung dengan seniman surealis pada tahun 1926.
Setahun kemudian, ia tinggal selama tiga tahun di Paris dan secara intensif
bergaul dengan kaum surealis.
Secara kronologis dan stilistis, lukisan
Magritte merupakan fase kedua gerakan surealisme. Dengan menggunakan metode
ilusionistik yang disebut quasi-fotografis seperti lukisan Dali, ia menampilkan
obyek yang nyata dengan prinsip paduan keganjilan (incongruous combination) sehingga menggoda asosiasi pikiran
pemerhati karyanya. Baginya realisme yang presisi juga dapat menjadi
surealistis sebagaimana otomatisme murni para surealis. Karya yang khas
bersifat argumentatif adalah berupa “lukisan dalam lukisan” seperti dalam The Human Condition I (1933). Karya
lainnya, seperti Key of Dreams
(1930), berupa alam benda yang diberi teks berbahasa Perancis namun berbeda
dengan benda yang dilukis, misalnya sebutir telur yang diberi teks Acacia
(akasia) sehingga menghasilkan asosiasi atau konotasi baru.
Berikut ini adalah beberapa contoh karya
Rene Magritte :
The
Lovers 1928
Imej sepasang kekasih yang mukanya
bertutup menunjukkan bahwa cinta itu buta. Magritte menjelaskan di dalam
lukisan ini mengenai misteri dan persepahaman antara kekasih yang tidak
diketahui.
Collective
Invention 1934 Golconde
1953
3. Max
Ernst
Max Ernst dilahirkan pada tahun 1891 di
Bruhl, Cologne. Ernst berlatar pendidikan filsafat di Universitas Bonn sebelum
memutuskan untuk menjadi seorang pelukis. Bersama sahabatnya, Arp dan Baargeld,
ia mendirikan kelompok Dada Cologne dengan nama “Dada W/Z,” dan berkolaborasi
dengan Arp dalam Fatagaga. Selama di Cologne, Ernst bertemu dengan Eluard dan
Breton, yang keduanya menyukai karyanya. Setelah tinggal di Paris semenjak
tahun 1922 Ernst bergabung dengan mereka untuk mendirikan gerakan surealisme.
Karya-karya dada Ernst menampilkan sikap yang tidak segarang dan antiseni
seperti Duchamp. Pada masa ini Ernst menggeser kedudukan seni yang dianggap
sakral menjadi satristik yang dipengaruhi Klee. Secara umum karyanya berciri
humor dan seringkali liris dengan penempatan imaji yang ditukartempatkan dan
irrasional, seperti dalam Here Everything
is Still Floating. Di Cologne teknik berkarya sepenuhnya dengan kolase.
Lukisan cat minyak pertamanya adalah Elephant
of the Celebes (1921) yang menampilkan paduan aneh berbagai unsur, dan hal
seperti inilah yang terpenting dalam surealisme. Kehalusan teknik dan pilihan
subyeknya menunjukkan pengaruh De Chirico.
Ernst merupakan pelukis mimpi dan alam
tidak sadar yang paling intensif di antara seniman surealis. Keterlibatannya
dengan surealisme didasari pengalaman melihat penampakan (vision) saat terserang demam cacar waktu kecil. Setelah menjadi
pelukis, ia merasakan hal yang sama dengan menatap secara serius perabot kayu,
awan atau permukaan yang bertekstur. Ia menganal mekanisme mimpi dan humor
kajian Freud, memahami sejarah umum dan seni, kajian psikologi mutakhir, dan
halusinasi yang nyata. Pandangannya tentang seni lukis dituangkan dalam buku “Au dela de la Peinture” yang diterbitkan
tahun 1936. Prinsip paduan keganjilan (incongruous
combination) Ernst yang diterapkan dalam teknik kolase yang disempurnakannya
merupakan penghubung antara dada dengan surealisme (Sylvester, 1993:54). Proses
semi-otomatis yang berdasarkan prinsip metamorfosisnya agak berbeda dengan
teori seniman surealis namun diakui turut mempengaruhi. Dengan teknik berkarya
seperti frottage, decalcomania, dan kolase, ia secara sadar menggali kesan
ambigu antar obyek dengan sturkturnya sehingga hasilnya sukar ditebak,
mengejutkan, dan tergantung interpretasi penikmat. Karya-karya Ernst seringkali
menghibur, menstimulasi, lucu, skeptis seperti terlihat misalnya pada karya
berjudul Tantot nus (1929) dan Une Semaine de bonte (1934). Semenjak
tahun 1931 Ernst juga membuat patung yang berwujud Totemic seperti seni primitif dengan teknik gips, sebagaian dicor
dengan perunggu.
Berikut ini adalah beberapa karya dari
Max Ernst :
The
Elephant Celebes 1921
The
Elephant Celebas dianggap lukisan
surealis sangat terkenal dengan tanda-tanda pergerakan yang khas. Gambaran dari
‘gajah’ mekanis yang besar seperti tampak terbuat dari ketel uap dengan pipa
panjang menyerupai leher yang sangat gelap. Garis cakrawala rendah dan keluasan
dari langit menekankan seberapa besar rakasa tersebut. Ada benda tinggi di
sebelah kanan yang terlihat seperti cabang atau tiang totem, yang muncul lebih
tinggi dari manekin, dan hanya menaiki (manekin) ini, ada asap hitam di langit
mendung yang gelap. Di sisi berlawanan, ada dua ikan terbang di langit. Gambar
ini tampak bagi saya untuk menghubungkan dengan revolusi industri dan perang
dunia pertama yang terjadi pada saat itu. Dalam lukisan The Elephant Celebes,
Unsur-unsur seperti wanita telanjang tanpa kepala mengenakan sarung tangan
bedah adalah aspek umum yang ditemukan di potongan karya-karya surealis
kebanyakan. Surealisme berkaitan dengan mimpi dan keinginan kebanyakan seniman.
Manekin wanita tanpa kepala bisa menjadi simbol untuk keinginan seks, oleh
karena itu, pikiran perempuan yang hanya berguna untuk satu hal. Ini juga bisa
mengacu kepada merendahkan perempuan dalam konsep Freudian. Namun manekin
dalam lukisan Ernst juga bisa menyinggung mitos penculikan Europa oleh Zeus menyamar
sebagai seekor sapi jantan.
4. Juan
Miro
Juan Miro lahir di Barcelona pada tahun
1893 dari ayah seorang pandai emas yang meninggal pada tahun 1983. Pada tahun
1907 Miro meninggalkan sekolah ekonominya untuk memasuki sekolah seni rupa di
Barcelona, dan meneruskannya ke Academie Gali. Karya awalnya yang
representasional dipengaruhi oleh Van Gogh, Cezanne, Matisse, dan Picasso.
Pameran pertamanya diadakan pada tahun 1918 di Barcelona. Tahun berikutnya ia
menetap di Paris dan banyak berhubungan dengan Picasso. Oleh Andre Mason,
diperkenalkan kepada beberapa seniman surealis dan turut berpartisipasi di
dalam pameran pertama surealisme pada tahun 1925. Miro dianggap oleh Breton
pada tahun 1928 sebagai seorang seniman yang paling surealistis diantara para
surealis.
Pada tahun 1925, Miro bekerjasama dengan
Ernst dalam merancang kostum dan dekor untuk “Romeo et Juliette” Diaghilev. Kemudian terlibat didalam pembuatan
lukisan mural raksasa, termasuk untuk Paris
World Fairs 1937, Harvard University tahun 1950, dan pada tahun 1955 mural
keramik untuk gedung UNESCO di Paris. Kekaguman pada gerakan dada dan simpati
atas tumbuhnya gagasan surealisme mewarnai karya-karya Miro saat tinggal di
Paris. Dari karya naifnya seperti saat bergaya realis pada periode Barcelona
bergerak menuju penggabungan aspek nyata dan fantastis seperti pada The Farm,
Montroig, Barcelona -1921-1922. Pada lukisannya detik menjadi penting dan
representasinya tidak begitu realistis. Dalam “Tilled Field,”
1921-1922, secara spesifik unsur kaum surealis disertakan, yakni sebuah telinga
yang besar dalam sebuah pemandangan. Selanjutnya dalam lukisan “Catalan Landscape” ia secara spontan
memadukan bentuk organis bebas seperti bentuk amuba dan geometris sembarang di
atas kanvas.
Miro selanjutnya bereksperimen dengan
konsep “otomatisme psikis” dengan karya yang mendekati abstrak. Dalam Circus
Horse, 1927, komposisi bentuk diubah secara halus menjadi kumpulan bentuk
figuratif yang miring, meski bentuk-bentuknya menjadi lebih figuratif, Miro
tetap melukis secara spontaan sebagaimana bunyi manifesto surealisme yang
dikemukakan Breton. Elemen fantasi yang kuat dan penuh main-main hasil
invensinya mengesankan dipengaruhi Paul Klee. Pada akhir tahun 1920-an karya
kolase berbahan heterogennya tampil sangat imajinatif dengan sengaja seperti
kekanak-kanakan. Unsur obyek surealis tiga dimensi readymade pun digabungkan
pada karya kolasenya seperti pada Objet
Poetique (1936). Dekade 1930-an karya-karya tiga dimensi berbahan kayu yang
berwujud seperti pada lukisannya cenderung mirip dengan karya kontemporer Arp,
kedua seniman tampaknya saling mempengaruhi.
Pada pertengahan tahun 1930-an lukisan
Miro terlihat suram dengan karakter yang agresif (disebut peintures sauvages) karena mencerminkan kecemasannya atas ancaman
Fasisme di Spanyol. Nada warna lukisannya menjadi gelap dan kasar, dan
bentuk-bentuk main-mainnya menjadi monster aneh yang menakutkan. Di akhir tahun
1930-an keagresifannya menurun. Aktivitas melukis dengan otomatisme, baik
secara penuh maupun tidak, masih berjalan namun bentuk abstrak dan garis
manusia atau binatang ditambahi detail semacam mata dan rambut. Dalam lukisan Woman in the Night dan yang lainnya dari
tahun 1940-an, Miro mengisi kanvasnya dengan aneka bentuk kecil berwarna-warni
dan garis penghubung. Secara bertahap bentuk-bentuk tersebut tumbuh membesar
atau mengecil. Miro bersama Artigas mulai pertengahan tahun 1940 selanjutnya
berkarya dengan media keramik yang mengambil bentuk-bentuk fantastis dari
lukisannya. Sebagian besar karyanya tersebut kini dikoleksi oleh Maeght Foundation di Perancis.
5. Yves
Tanguy
Yves Tanguy lahir pada tahun 1900.
Tanguy mengaku menjadi seorang pelukis setelah melihat salah satu lukisan De
Chirico di Paris pada pertengahan tahun 1920-an, Tanguy menganggap bahwa unsur
kejutan adalah kesenangannya di dalam melukis. Ia mengangkat obyek yang tidak
biasa dan tidak memiliki kesamaan dengan apapun ke atas kanvas lukisannya.
Subject-matter lukisannya tidak nyata, pengolahan kesan perspektif yang ganjil,
serta efek cahaya dan bayangan yang dipengaruhi oleh De Chirico. Tanguy bereksperimen
dengan prinsip otomatisme, membuat “exquisite
corpses” bersama rekannya, dan dalam proses berkaryanya sesekali ia membalikkan
kanvasnya untuk memperoleh pandangan baru dari dunia ketidaksadarannya. Cahaya
putih susu dan bentuk-bentuk biomorfisnya mengingatkan dengan bentuk menhir dan
dolmen di daerah asalnya, Brittany. Baginya judul karya yang aneh, seperti “Mama, Papa is Wounded!” (1927)
menggambarkan temuannya akan dunia tersendiri yang amat berbeda dengan dunia
nyata dan akal sehat.
Di luar gerakan surealisme tercatat
beberapa seniman yang karyanya menunjukkan kecenderungan sejenis, misalnya Paul
Klee, Marc Chagall, dan Pablo Picasso. Klee, pelukis kelahiran Swiss, termasuk
pelukis yang mengangkat alam mimpi, gambar anak, dan kerajaan improvisasai
psikis dalam simbolisme karyanya. Karyanya secara berkala sering direproduksi
dalam La Revolution Surrealiste, dan
bahkan ikut serta dalam pameran surealis pertama di tahun 1925. Kematangan
intelektualnya mendorong karirnya menjadi dosen di Bauhaus Weimar, sebuah
sekolah yang jauh dari “kuil ketidaksadaran” (Temple of the Unconcious/Surealisme) dan justri peran logika begitu
dominan. Chagall, seorang Yahudi Rusia, karyanya yang sering menggambarkan
kerinduan akan berbagai kenangan semasa kecil di desanya, dianggap penuh
khayalan, puitis serta memiliki semangat yang sama, namun ia memilih menjauh
dari gerakan surealisme. Para surealis pun antusias untuk mengajak dan bahkan
merayu Picasso – karena melihat semangat yang sama pada karyanya di tahun 1930-an
– untuk menjadi anggota, namun perupa serba bisa ini tidak bergeming.
Berikut ini adalah beberapa karya dari
Yves Tanguy :
Through
Birds, Through Fire, but Not Through Glass 1943
Mama,
Papa is Wounded! 1927
V. Lain-lain
Aliran
surealisme sering digunakan di dalam desain banner iklan, desain poster, desain
kaos, desain sepatu kanvas, dan lain-lain. Para desainer menyukai aliran ini
karena cenderung bebas, sesuai apa yang diimajinasikan oleh desainer. Berikut
ini adalah beberapa contoh surealisme yang masih diterapkan di dalam desain
grafis :
Tokoh
utama surealisme di Indonesia adalah Soedibio dan setelah meninggal mendapatkan
julukan sebagai Bapak surealisme Indonesia. Soedibio memulai melukis surealis
sejak tahun 1940, namun karyanya tidak terkenal karena ia sempat menghilang
selama belasan tahun. Kemudian Soedibio muncul kembali dengan gaya lukisan yang
berbeda dan Soedibio meninggal pada tahun 1981.
Berikut
ini adalah table perbedaan antara surealisme dengan Realisme :
Lintasan
Perjalanan Seni Rupa Indonesia :
Di tengan
konlfik politik dan ideology, para pelukis di Indonesia tumbuh dengan cepat,
mereka adalah :
1. Karyono
(lukisannya realism dan ekspresionisme)
2. Tedja
Suminar (lukisannya realism dan ekspresionisme)
3. Muhamad
Daryono (lukisannya ekspresionisme, banyak mengusung tema kerakyatan)
4. Krishna
Mustajab (lukisannya ekspresionisme, dekoratif-ekspresif)
5. OH
Soepono (ekspresionisme dan surealisme)
6. Rudi
Isbandi (lukisannya beragam: mulai dari ekspresionisme, kolase, media campuran,
dan abstrak)
7. Amang
Rahman (surealisme dan terkenal gaya Amang Rahmanisme)
8. M.
Roeslan (realism dan kaligrafi Jawa, banyak mengusung masalah kerakyatan dan
realism sosial ala Hendra Gunawan)
9. Rustamadji
(realisme dan naturalism)
10. Koempoel
(realisme dan impresionisme)
11. Soechieb
(realisme dan banyak mengusung tema perjuangan)
12. Wiwiek
Hidayat (impresionisme dan abstrak, banyak menorehkan garis-garis dan
warna-warna mencolok)
13. Sudibio
(tahun 1946 mendirikan kelompok “”Seniman Muda Indonesia” di kabupaten Madiun. Pada
tahun 1967 bersama Wiwiek Hidayat mendirikan “Sanggar Puring,” anggota dari
Sanggar Puring adalah Sodibio, Wiwiek Hidayat, Karyono, Tedja Suminar. Pada
tahun 1960-an aktif seni rupa di Madium dan Surabaya)
Setelah rezim Soekarno runtuh ditahun 1966, banyak
seniman Lekra yang ditahan, dibunuh, dan melarikan diri. Sedangkan seniman lain
yang berafiliasi ke partai politik, sepertri LKN dan Lesbumi, diakhir Tahun
1960-an mulai pasif. Akibatnya
di Surabaya yang dominan adalah seniman non PKI dan non afiliasi ke partai
politik. Para seniman independen yang tergabung dalam gerakan Manikebu
(Manifestasi Kebudayaan) mendominasi perkembangan seni rupa di Surabaya.
Kelompok Manikebu itu adalah M Daryono, Rudi Isbandi, Amang Rahman, Krishna
Mustadjab, dan sebagainya. Sebagian dari merekalah yang kemudian mendirikan
AKSERA Tahun 1974.
Ditahun 1970-an mulai semarak
perkembangan seni rupa di Surabaya. Sebab ada beberapa lembaga yang berpengaruh
terhadap perkembangan seni rupa Surabaya saat itu. Pertama, pengaruh Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Kedua, pengaruh lembaga kesenian
seperti Dewan Kesenian Surabaya (DKS), dan Bengkel Muda Surabaya (BMS). Aksera
sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan seniman dan kesenian Surabaya.
Aksera melahirkan pelukis seperti Nuzurlis Koto, Hardi, Dwijo Sukatmo,
Makhfoed, Thalib Prasodjo, Hardjono W.S, Suud, Poerono Sambowo, Hasan Busro,
Agus Kemas, Nunung W.S, Hari Matrais, Abraham, Akuat Pribadi, Serudi Sera,
Bambang Haryadjie (Bambang Telo), Arifin Hidayat, Yahya Ramsech, Sugeng, dan
pematung Soesiyar. Mereka mengembangkan kebebasan berpikir dan berkreasi sesuai
dengan masukan dari guru-guru mereka seperti Muhamad Daryono, OH Supono, Amang Rahman,
dan sebagainya. Generasi pelukis Tahun 1970-an sebenarnya sangat beragam,
meskipun pengaruh AKSERA sangat besar sekali. Mereka berkembang secara
otodidak, dari Yogyakarta, dan sebagainya. Secara global generasi pelukis Tahun
1970-an adalah sebagai berikut (selengkapnya lihat: Direktori Seni Rupa di
atas). Abraham (realisme dan surialisme), Agus Kemas (hijrah ke Sumenep), Akuat
Pribadi (ekspresionisme), Arifin Hidayat (realisme, dekoratif, dan
eskpresionisme. Ahli taman), Bambang Haryadjie (ekspresionisme dan dekoratif),
Dwijo Sukatmo (abstrak dan kemudian impresionisme, banyak tema-tema filsafat
kehidupan), Hardi (realis-ekspresionisme, hijrah ke Jakarta), Hardjono W.S
(pematung dan pelukis realisme dan ekspresionisme. Dia juga penyair dan
sutradara teater anak-anak), Hari Matrais (lebih banyak ke teater), Hasan Busro
(hijrah ke Jakarta), Liem Keng (sketsa yang bernuansa ekspresionis, dengan
warna hitam putih dan media tinta yang kuat sekali), M. Thalib Prasodjo
(realisme dan banyak menggambar sketsa hitam putih), Makhfoed (surealisme
dengan tema dominan alam kehidupan ala “Miro”), Nunung W.S (realisme dan
ekspresionisme, hijrah ke Jakarta, Yogyakarta), Nuzurlis Koto (abstrak),
Poerono Sambowo (realisme dan abstrak), Saiman Dullah (naturalisme), Serudi
Sera (pointilis dan surialisme), Soesiyar (banyak karya patung, patung bertema
kehidupan, tetapi disajikan secara surialisme), Subur Dullah (naturalisme),
Sugeng (gaya optik), Suud Endisuseli (banyak melukis dengan media tinta dengan
warna hitam putih. Lukisannya banyak dominan garis fraktal dan pointilis),
Wahjudi D. Soetomo (realisme dan terakhir abstrak, ahli taman), Yahya Ramsech
(realisme dan kaligrafi). Di samping itu Aksera menyelenggarakan Sekolah Minggu
Aksera (SMA). SMA ini melahirkan seniman seperti Wadjie MS dan Sukarno. Bengkel
Muda Surabaya pun menyelenggarakan sekolah minggu seni lukis sehingga banyak
seniman muda yang lahir dari aktivitas BMS ini. Tokoh yang lahir dari BMS
adalah Bawong SN, Amir Kiah, dan Winarto.
Ditahun 1980-an dunia seni rupa Surabaya
mulai diramaikan oleh pengaruh pendidikan seni rupa Fakultas Keguruan Bahasa
dan Seni (FKBS) IKIP Surabaya (UNESA). Akibatnya sejak tahun 1980-an itulah
berkembang pelukis dan lukisan yang sangat beragam. Banyak seniman yang
mendapat pengaruh UNESA, lulusan ASRI Yogyakarta, otodidak, STKW, dan
sebagainya. Tidak heran kalau generasi seni rupa Surabaya sejak Tahun 1980-an
semakin beragam. Kita simak keberagaman itu adalah sebagai berikut:
1. A. Gusge (realis-surealis)
2. Abdul Kadir (impresionis)
3. Albert Rondonuwu (realis)
4. Amdo Brada (Bambang Widodo). Amdo adalah jebolan STSI
ASRI Yogyakarta. Amdo terkenal dengan lukisan dekoratif etnik. Dia banyak
melukis totem dan dekorasi daerah.
5. Amir Kiah (realis-ekspresionis)
6. Anang Timur (realis, surealis, dan dekoratif. Banyak
mengusung tema candi)
7. Andi L. Hamsan (realis-dekoratif dan surealis)
8. Andi Sulasmono (realis)
9. Arifin Petruk (instalasi)
10. Asri Nugroho (realisme, surealisme, dan abstrak)
11. Bagas Karunia Putra (realis, ekspresionis, multi
media, dan terakhir dadais)
12. Bambang Widiantoko (abstrak)
13. Basuki (realis)
14. Bilaningsih (ekspresionis dan dadais)
15. Chamdani (ekspresionis, banyak mengusung tema sosial)
16. Chusnul Bahri (pelukis kaligrafi dan dekoratif.
Lukisannya style Madura).
17. Chusnul Hadi (realis, kaligrafi)
18. Doho Senjoyo (naturalis)
19. Doyo Prawito (realis, natural, dan terakhir surialis)
20. Dwi Hadiah (realis-dekoratif)
21. Farid Firdaus (impresionis, ekspresionis)
22. Hening Purnamawati (dekoratif dan surialisme). Hening
merupakan pelukis perempuan Surabaya potensial.
23. Her Rusmadi (realis, ekspresionis, dan banyak
mengusung tema kerakyatan model Hendra Gunawan)
24. Heri Suyanto (realis, dekoratif, dan pointilis)
25. Hisyam (dekoratif)
26. Hookim Hong (realis dengan gaya lukisan China)
27. I Nyoman Ladra (dekoratif)
28. Ika Ismurdiahwati (dekoratif dengan banyak tema
lukisan topeng dan totem)
29. Imam Chambali (realis)
30. Iskandar Zubair (realis dan banyak melukis karikatur)
31. Ivan Hariyanto. Pelukis Surabaya bergaya surealis yang
produktif. Ivan lulusan STSRI “ASRI” Jogyakarta.
32. J.S Warno (realis)
33. Juli Jatiprambudi (realis-ekspresionis, lebih terkenal
sebagai kritikus dan penulis seni rupa)
34. K. Djuwito (realis)
35. Kris AW (pernah di Surabaya. Sekarang di
Gresik.Lukisannya realis)
36. Liem Keng
37. Liwung (realis)
38. Lukman Azis (surealis, bermukim di Porong Sidoarjo,
almarhum)
39. M. Basuki (realis)
40. M. Thoyib (dekoratif)
41. Mas Dibyo. Mas Dibyo merupakan salah seorang pelukis
bergaya ekspresionis yang sangat produktif. Pada awal Tahun 1990-an dia pindah
ke Tuban dan sangat produktif pameran.
42. Mudjiono (realis)
43. Muhamad Fauzi (surealis dekoratif)
44. Musfaat (realis dan naturalis)
45. Natalini (Lini) (ekspresionisme)
46. Nonot Sukrasmono (realis, surealis, dan abstrak, dan
kaligrafi)
47. Nunung Bachtiar (realis, ekspresionis)
48. Okka Jauhari (abstrak)
49. Pandik (realis)
50. Pek Liang (realis dengan gaya lukisan China)
51. Praci Hara (abstrak, lulus Unesa, banyak sibuk
mengajar di SMKN XI – SMSR Surabaya)
52. Purnomo Sadewo (realis ekspresionis)
53. Rijaman (pointilis)
54. Rilantono (realis, dekoratif, dan pop art)
55. Salamun Kaulam, dosen UNESA, termasuk pelukis Surabaya
yang rajin pameran bersama. Lukisan Salamun sangat ekspresif dengan komposisi
warna cerah. Perkembangan terakhir, bentuk lukisan Salamun mengarah ke abstrak.
56. Satya Budi (realis-surealis). Sekarang tinggal di
Yogyakarta.
57. Sebastian (realis, banyak belajar dari Doyo Prawito)
58. Setyoko (ekspresionisme, fauvisme)
59. Sim Kiem (realis)
60. Siti Rijati (realis)
61. Sri Rahayu (realis)
62. Subanu (realis-dekoratif)
63. Sugiarso Widodo (lukisannya banyak tema mesin sebagai
simbol budaya masyarakat saat ini)
64. Sukarno (realis, dekoratif)
65. Surachman KS (realis dekoratif)
66. Suratno (realis)
67. Sutjahyo Widodo (realis ekspresionis)
68. Syafei Prawirosedono (Cak Pii) (realis banyak tema
wayang)
69. Syaiful Hadjar (realis, grafis, dan saat ini menekuni
seni rupa instalasi)
70. Taufiq Sulistiya (realis)
71. Thoyib Tamsar (dekoratif, banyak bikin patung dari
bahan serat rosella)
72. Tiko Hamzah (realis-surialis)
73. Utut Hartono Brotoasmoro (realis)
74. Wadji M.S (realis dekoratif)
75. Wijianto (realis)
76. Yuliascana (dekoratif)
Sedangkan generasi seni rupa Surabaya
Tahun 1990-an sama beragamnya dengan generasi seni rupa Tahun 1980-an. Akan
tetapi generasi seni rupa Surabaya Tahun 1990-an banyak mengusung tema sosial,
politik, dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka adalah :
1. Abdul Hakim (otodidak. kaligrafi)
2. Agus Kucing (pop art dan instalasi)
3. Agus Muharam (kaligrafi)
4. Ari Indriastuti (realis, lulusan Unesa)
5. Arsdewo (STSI=Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
Realis ekspresionis dengan tema kerakyatan)
6. Asnan Hayadi (realis, otodidak, banyak melukis kota
lama)
7. Bambang Kuncung (nama aslinya Bambang Bagus Permadi.
Mahasiswa STKW. Instalasi dan pop art)
8. Budi S (otodidak. natural)
9. Darsono (realis. Otodidak)
10. Dukan Wahyudi (lulusan SMSR. realis dekoratif, dengan
mengusung banyak tema kritik sosial)
11. E.Y Fibri Andrianto (abstrak, STKW Surabaya)
12. Hari Subagio (realis ekspresionis, IKIP Semarang)
13. Indra Harianti (istri Supar Pakis. Realis.otodidak)
14. Joko Pramono (Jopram) (lulusan SMSR. pop art)
15. Jumartono (ekspresionis, lulusan SMSR)
16. Mas Rachmad (realis dan kemudian berkembang ke
dekoratif. otodidak)
17. Mirza Said (dekoratif, Univ Trisakti)
18. Mukiban (otodidak.realis, impresif)
19. Nono Karyono (realis, otodidak)
20. Nono W.S (realis, banyak belajar di Perancis)
21. Novita Sechan (realis, lulusan Unesa)
22. Supar Pakis (lulusan Unipa=Universitas PGRI Adibuana. Gayanya
realis-surealis)
23. Taufiq Hidayat
24. Yunus Jubair (surealis)
Sementara itu ada beberapa pelukis
keturunan China yang pernah tinggal dan belajar di Surabaya. Diantara mereka
ada yang tetap tinggal di Surabaya dan ada yang meninggalkan Surabaya. Mereka
antara lain adalah :
1. Huang Fong, Banyuwangi.
2. Sen Pao, Bali.
Lahir di Surabaya, 1949. Pendidikan : Melukiskan sejak usia dini. Ia murid
pelukis S. Jikan BA, pada tahun 1967-1968 yang kemiudian dilanjutkan
dibawah bimbingan pelukis T.Wing di Surabaya. Pengalaman : Tahun 1972 menetap
di Bali dan berlangsung sampai sekarang, berulang kali pameran di Jakarta,
Surabaya, Bali. Sen Pao menggali kehidupan Bali visual yang khas, bewarna
cerah, ilustratif dan mozakis.
3. Chien Pang L. Surabaya. Lahir di Surabaya tahun 1941. Pendidikan :
Sejak 10 tahun belajar Chinese Painting di bawah bimbingan ayahnya sendiri dan
kemudian mendapat bimingan dari beberapa pelukis diantaraya Mr. Won Tok Fong
(Pelukis chinese Painting). Mr. Chang Le Ou (alm).tahun 1960 belajar disekolah
seni CHANA Surabaya. Pengalaman : Tahun 1971 mencari pengalaman ke Asia
Tenggara. Dari tahun 1979-1994 banyak mengikuti pameran bersama dan tunggal, di
Denpasar, jakarta dan luar negri. Tahun 1994 termasuk finalis dalam pameran All
Media Competion yang diadakan oleh ARTIST MAGAZINE di Cincinati, Ohio-USA. Dan
pada tahun 1995 mendapat ucapan “SELAMAT” The Committe of The World Overseas
Chinese Artist Institute yang mana salah satu dari karyanya pada likisa “Fun In
The Meadow”terpilih dalam Global Overseas Chinese Painter’s Art Works
Collection yang diselenggarakan oleh Editorial board of Paintin Research
Institute, Institut seni cina, Beijing. Tercatat tahun 2002 dan 2003 dalam
pameran seni lukis Chinese Painting dan Grafis di Nanjing.
4. S. Jikan. Lahir
di Klakah (Lumajang) 10 November 1941. Pendidikan : Mulai belajar melukis pada
seniman dan guru seni Tan Wing. Tahun 1965 diterima di S.R.I. Yogyakarta.
Selanjutnya pada tahun 1967-1970 di IKIP Negri Surabaya jurusan SeniRupa. Gemar
melukis cat air, cat minyak, soft pastel diatas cat air dan acrylic. Sebagai
angota perkumpulan seni lukis dan kaligrafi Jawa Timur.
5. L. Mintardja. Lahir di Surabaya 1934. Pendidikan : Darah seninya
mengalir dari ayahnya seorang kaligrafi terkenal di Surabaya. Sejak kecil
mendorongnya untuk menekuni seni lukis dengan belajar pada guru pelukis Kwee
Ing Ling pada tahun 1950. Pengalaman : Tahun 60’an beberapa kali mengikuti
pameran lukisan bersama di Jakarta. Tahun 70’an beralih ke grafis design dengan
media cetak, banyak menangani design packaging dan iklan. Namun kegiatanya
melukis tidak pernah lepas dari kehidupanya. Bahkan kini seni lukis sudah
menjadi tangung profesinya. Beberapa tahun ini sering pameran bersama di
Jakarta, Surabaya, dan Bali. Lukisannya banyak dikoleksi oleh kolektor dari
Jakarta, Surabaya, Bali serta mancanegara.
6. WT. Dhay. Lahir di Lumajang tahun 1937. Pendidikan : Sekitar
tahun 1960-an pelukis Realis Impressionistik ini belajar menggunakan cat minyak
pada pelukis Nurdin BS. Pengalaman : Dari sekitar 30 kali pameran bersama di
dalam dan di luar negri, diantaranya : All Media Competion (Cincinnati,
Ohio-USA), Pameran bersama Lukisan Flora &Fauna (Hitton Executive Club,
Jakarta), Asia Excellence (Singapore), “Pelangi Dewata” (Lippo Finansial
Jakarta), Gelegar Seni (Radison Jakarta). Karya-karyanya dikoleksi kolektor
dalam dan mancanegara.
7. Liem Sing Kiem. Lahir di Surabaya. Pendidikan : Belajar melukis
di yayasan Seni lukis “CHANA” Surabaya. Mendapat bimbingan pelukis Sen Pao di
Bali. Pengalaman : Delapan Pameran bersama : Temu Ragam Sembilan Pelukis (Bank
Umum Nasional), Pameran Akbar Seni Lukis (Hotel Presiden Jakarta), Komunitas
Seni Lukis Surabaya (Hotel Hyatt Reency), Jambore Seni Lukis Surabya (Galery
Surabaya), Kepedulian Sesama pelukis (Galery 678 Jakarta), Pelangi
Nusantara I (Garden Palace Hotel), Putri Art Galery (Malang), Puisi Nusantara
(Garden Palace Hotel) dan di berbagai tempat peresmian/Pembukaan gedung.
8. Pan Zhen Puei. Medium : Oil, Chinese Ink Pencil, Watercolour. Awards
: 1976 Special Award, Ministry of Culture National Day Art Exhiition,
Singapore. 1988 Tan Tze Chor Art Award, Singgapore Art Society Annual Art
Exhibition, Singapore. Selected Collection : Agung Rai Art Museum,
Bali-Indonesia, DBS Bank, Singapore Monetary Authority of Singapore, Singapore,
Rudana Art Museum, Bali-Indonesia, United Overseas Bank, Singapore. Member :
Society Chinese Artist, Singapore, Singapore Art Society, Singapore.
menarik......sip
BalasHapus